Kisah hijrah
Karena teman-teman Solidaritas
Peduli Jilbab (SPJ) Palu sudah meminta di grup WA, maka ini harus kutuliskan
segera. Ini hanya sepenggal kisah dariku, semoga teman-teman mendapatkan pelajaran
(ibroh) dari kisahku ini. Karena sesungguhnya inilah bagian dari skenarioNya
untukku.
Aku adalah Bungsu dari 3
bersaudara. Hidup dilingkungan religius dari kecil membuatku akrab dengan
pakaian tertutup lengkap dengan hijab. Menurut cerita mama, saat aku umur 2
tahunan tepatnya saat lancar berbicara aku selalu meminta dipakaikan jilbab
sama sepreti mama jika ingin keluar rumah. Jadi sebelum sekolah TK-pun aku
sudah akrab dengan hijab. Mama & Papa adalah pasangan guru honorer di MTs
Nurul Huda Banggai. Pakaian seragam sekolah dengan rok & jilbab tak lagi
asing bagiku. Mengajar mengaji sehabis magrib kepada anak-anak di Asrama Nurul
Huda menjadi rutinitasku sejak aku khatam al qur’an pertama kali, mungkin usia
SD kelas 2 atau 3. Tak heran jika seragam sekolahku mulai TK, SD, SMP hingga
SMA pun menggunakan hijab. Walaupun hanya pendidikan TK & SD saja yang
kutempuh di sekolah Agama yaitu TK Nurul Huda Banggai & MIN Tano Bonunungan
Banggai. Lalu kumelanjutkan di sekolah Umum SMP N 1 Banggai lalu ke SMA N 1
Banggai. Memang hijab selalu melekat dikepalaku, namun sayang itu hanya saat berseragam
sekolah, les atau agenda-agenda OSIS. Apalagi di zaman Sdku dulu lagi nge-hits
penyanyi cilik Mega Utami & Maisy. Setelah nonton lagunya setiap Ahad pagi
di rumah tetangga sorenya pasti gaya rambut dari dua artis cilik itu sudah ku
tiru. Ya rumah tetangga, dulu rumah memiliki televisi sangat jarang ditemukan
dikompleks kami. Jalan-jalan sore sambil menjaga adik dengan rambut gaya baru
setiap harinya. Begitulah keseharianku jika sepulang sekolah.
Hingga suatu hari, saat aku
terlibat dikepengurusan OSIS di SMA. Aku menjadi anggota OSIS bidang I.
Kerohanian Islam. Mudah-mudahan saja bukan karena melihat jilbabku yang
sebenarnya masih abal-abal. Hanya karna alasan sebagai Pengurus OSIS di bidang
inilah menjadikanku WAJIB jadi panitia Pesantren Kilat (PESKIL), saat itu kalau
tidak salah ingat Romadhon tahun 2006. Padahal teman se-kelasku, se-angkatanku
bahkan kakak kelasku semua jadi peserta. Teman teman se-angkatanku dari kelas
Xa hingga Xe lalu kakak kelas yg XIIA1, XIIA2, XIIS1, XIIS2 & kelas Bahasa
menjadi pesertanya. Perasaan bangga hadir mengisi hatiku, Astagfirullah semoga
saja Allah memaafkan sifat sombongku itu. Tak ubahnya senior yang lain, sebagai
panitia kami wajib mengatur peserta & menegurnya jika tidak mengikuti
aturan panitia. Pembina OSISpun
sepenuhnya menyerahkan semuanya kepada panita yang sebagian mereka adalah
anak-anak Pelajar Islam Indonesia (PII) saat itu aku belum terlalu mengenal
PII. Berbekal brifing panitia setiap awal sahur mulailah aku berlagak layaknya
panitia. Tak pandang senior atau junior yang jelas aku panitia anda peserta,
jika ingin lulus PESKIL anda wajib mengikuti titah panitia, maklumlah saat itu
Nilai PESKIL SEKOLAH menjadi salah satu penilianian dalam mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam (PAI).
Hari-hari PESKIL berjalan seperti
biasanya, saya yang mengikut saja. Memarahi peserta jika minum dalam keadaan
berdiri apalagi sambil jalan, menegur jika melihat peserta makan menggunakan
tangan kiri, menumbuk meja dengan keras jika mereka lupa berdo’a sebelum makan,
mengangkat telunjuk dengan muka geram saat peserta belum bergegas ke masjid hingga
adzan hampir usai bahkan melaporkan nama-nama peserta ikhwan yang lancang
berkunjung ke kamar peserta akhwat walaupun hanya depan pintu kamar nanti mereka
akan di sidang oleh panitia senior dan aku seperti merasa tertawa puas melihat
mereka berhasil kutangkap basah. Apalagi peserta akhwat yang lalu lalang tanpa
merapikan dengan benar jilbab dikepalanya, mereka akan menjadi bulan bulananku dengan
kakak-kakak panitian akhwat lainnya. Bedanya mereka paham hukumnya sedangkan
aku hanya mengikuti saja, dengan alasan “eh saya kan panitia juga”.
Hingga tibalah malam puncak yang
menjadi titi balik kehidupanku, yang membuatku terkagum-kagum dengan mereka
yang kukenali anak-anak PII juga terpesona dengan Islam yang sangat luar biasa
mengatur segala seluk beluk kehidupan manusia.
Malam itu rapat panitia agak
tertutup, tidak semua panitia dilibatkan. Hanya yang jilbabnya rapi celananya
bukan jeans & yang selalu pakai rok saat PESKIL. Lagi lagi saya lolos dalam
hal ini hanya karena ikut-ikutan. Dan belakangan aku mengetahui ternyata alasan
lain aku diizinkan terlibat dalam settingan malam itu karena aku dinilai
sedikit banyak mampu berakting untuk menyukseskan setting-settingan mereka ini.
Awalnya aku belum paham namun lama kelamaan mengikuti alur rapat yang sangat
alot itu akhirnya akupun mulai mengerti arah pembicaraan. Bahwa malam ini
adalah malam terakhir. Materi jihad. Tugas panitia adalah membuat malam ini
menjadi malam yang paling berkesan agar semua materi materi-materi yang sudah
didapatkan semua peserta dari hari pertama bisa pelan-pelan merek aplikasikan
dalam kehidupan mereka, agar mereka terbiasa menjaga hijab antara ikhwan &
akhwat, agar mereka rutin tilawah di rumah, agar mereka mampu melanjutkan
kebiasaan-kebiasaan menghidupkan sunnah-sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam yang sudah hampir seminggu dibangung
& dibiasakan pada mereka di sini dan terakhir yang merupakan tugasku &
tim panitia akhwat lainnya adalah AGAR
MERAKA MAMPU MEMPERTAHANKAN JILBAB MERAKA tidak hanya di PESKIL tapi juga
saat sekolah & kesehariannya. Ya mereka. Saya masih berfikiran fokus pada
mereka para peserta. Masing-masing tugas sudah dibagikan, skenario telah
dimatangkan, latar bahkan timing sudah diatur, setelah pemateri tentang jihad
memberikan kode dari dalam ruang materi, mulailah kita berolah akting dengan bekal
kalimat-kalimat yang sudah diajarkan & kami harus mampu meyakinkan para peserta
tentang materi yang masing-masing kita bawakan. Untuk tim panitia akhwat kita
sudah berbagi tugas siapa yang akan memarah-marahi mereka dalam ruangan, siapa
yang akan membela mereka, siapa yang jadi tim penyelamat saat ada bentrok
langsung antara panitia & peserta, siapa yang jadi benteng di pintu jika
panitia pengacau berhasil kabur dari dalam rungan agar peserta tidak berhasil
mengejarnya hingga keluar ruangan dan siapa yg mengambil kesimpulan/penutup
materi agar peserta kembali tenang. Semua sudah diatur rapi. Termasuk segala
alat tulis menulis barang tumpul & tajam sudah diamankan oleh panitia sesaat
sebeklm materi dimulai, karena dalam keadaan emosi yang tidak terkontrol
pulpenpun bisa jadi senjata untuk melawan. Begitu kata pemateri, ya saya
mengikut saja.
Hingga tiba saatnya, ketika
perasaan & emosi peserta sudah dalam genggaman pemateri. Tekad kuat mereka
untuk berjihad di jalan Allah telah terbentuk,siap menumpas siapapun musuh
Allah dimuka bumi, siap menjalankan ibadah sesuai tuntunan Agama untuk mengkokohkan
Islam, dan saat semuanya matang tibalah satu persatu panitian menguji nyali
mereka menguji ksungguhan mereka. Suasana semakin alot & panas, yang
terdengar teriakan remeh dari panitia namun disambut dengan takbir menggungah
dari para peserta, serentak bulu kudukku merinding, Ya Allah apa yang terjadi.
Agar azzam betul betul mengkristal. Beginikah suasana saat musuh-musuh Allah melakukan
pembantaian di tanah Arab? Suara perempuan-perempuan merontak dengan takbir
yang merontokkan keberanian musuh dengan seketika. Ya Allah, haru biru merasuk dalam hatiku. Takbir takbir
dan takbir terus yang terbesit dalam hatiku. Semakin larut semakin menggugah. Hingga
tibalah sesi dimana panitia akhwat yang melancarkan aksinya termasuk aku salah
satunya. Salah seorang panitia menerangkan tentang kewajiban muslimah dengan
lantang hingga tak ada satupun kami yang merasa pantas lagi untuk memamerkan
aurat ini, lalu disusul dgn seorang panitia yg datang dengan tiba-tiba secepat
kilat mengoyak-ngoyak jilbab para peserta yang mulai muncul komitmennya untuk
berhijab, satu pukulan mendarat di pelipisnya sebelum ia berhasil kabur keluar
dari ruangan lalu diamankan oleh panitia di luar ruangan. Tibalah masaku. “
AAAAHHHHHHRRGGGGHHHH, Munafik kalian semua, hari ini malam ini kalian
mati-matian membela diri kalian, mempertahankan jilbab di kepala kalian,
menutup rapi rambut-rambut indah kalian, tapi setelah malam ini, setelah
kegiatan ini. APA? APA? APA? Percuma !. jika
kalian kembali memamerkan rambut indah terurai. Percuma! jika setelah ini jilbabnya masih buka pasang. Di
rumah buka sekolah pasang. Percuma !. Munafik kalian semua. Munafik! Jelas jelas
menutup aurat itu kewajiban muslimah, mau miskin mau kaya, mau cantik atau
tidak cantik, rambut lurus rambut keriting, kulit hitam kulit putih, semua
muslimah itu sama. Wajib menutup auratnya, seluruh tubuh kecuali wajah &
telapak tangan. Buka saja jilbab kalian sekarang! BUKA !!!. Tidak ada gunanya
menagis malam ini mempertahankan jilbab di kepala kalian matian-matian lalu
besok pagi saat pulang ke rumah tetap saja kembali ke masa jahiliyah, buka saja
jilbab kalian. BUKA !. sambil mengitari ruangan itu, aku menatap semua wajah
teman-teman kelasku teman-teman dekatku, ku tatap mata beningnya satu persatu
dengan tangan yang erat menjaga jilbabnya agar tak terlepas akibat tarikan
kasar dari panitia termasuk aku. Tak sadar air matakupun menetes, basah pipi
ini seperti mereka yang didalam yang baru saja kunasehati adalah diriku
sendiri, terbayang semua perbuatanku terhadap auratku selama ini. Hingga dada
sesak mengingat dosaku tentang aurat ini aku tak sadar bahwa sebuah tonjokan
berhasil mendarat di daguku, seorang teman yang melihat posisiku terancam
segera berlari dan mendorongku menuju pintu keluar kelas, semua panitia akhwat
diserbu ku tak tahu lagi siap yang memukulku & siapa yg menarikku keluar
untuk diamankan, yang paling tak bisa kulupa saat bunyi selembar kain
ssssssrsrrrrrtttttttt terdengar sangat dekat dari telingaku. Ya Allah ya Rabbi.
Apa yang terjadi. Dada ini sesak, air mata membuncah, suaraku bergetar, takbir
takbir lalu takbir. Sambil melindungi kepalaku semampuku bergetar suaru
bertakbir “Allahu Akbar!” “Allahu Akbar!” “Allahu Akbar!” jangan lepas jilbabku
teriaku lagi jangan buka auratku, tolong tolong aku ya Allah tolong, ampuni
aku. Tubuhku jatuh terkulai tepat di tiang depan kelas. Setelah berhasil
ditarik-tarik oleh panitian tim penyelamat dari serbuan peserta akhwat di dalam
ruangan. Semua mempertahankan jilbabnya dan menyerang siapapun yang mengancam
terlepasnya jilbab dari kepalanya. Takbir bergema dimana-mana. Aku menangis
sebisa-bisanya. Ya Allah aku mohon ampun atas semua dosa-dosaku, dosa dari
kelalaianku menjaga auratku. Pipiku makin basah. Hingga seseorang menutup
kepalaku dengan sajadah ditangannya kutak ingat lagi itu siapa sambil
melindungi ku dengan cepat sajadah ditangannya mampu menutupi bagian belakangku
sambil berkata ”Fhi rambutmu dibelakang kelihatan” sepertinya jilbabmu ini
robek. Ganti dulu jilbabmu dek, baru kesini lagi. Aku segera berlari menuju
ruang istirhat panitia akhwat dengan terseok seok, belum terlalu kurasa
sakitnya tubuhku yang sangat di keesokan harinya. Yang aku tahu akulah salah
satu hamba yang selama ini masih melalaikan kewajibanku, sholat, bakti pada
orang tua & lalai menutupi auratku. Lampu ruang kelas yang sengaja
dimatikan sebelum meninggalkan ruangan yang telah berubah menjadi kamar panitia
akhwat ini, menambah suasana haru nan syahdunya atas penyesalanku ya Allah
terimalah taubatku. Sinar lampu dari teras depan kelas yang masuk menembus
ventilasi ruangan seakan berkata dalam kegelapan ini masih ada cahaya remang
yang dapat kau nyalakan dengan terang, setelah taubatmu masih ada kesempatan
memperbaiki semuanya. Allah maha pemaaf Allah maha pengampun segala dosa. Kutarik
napas panjangku, kuseka air mataku, kutenangkan hati denga istigfar, dengan
tertatih ku melangkah menuju saklar lampu kelas, aatagfirullahaladziim
astagfirullahaladziim astagfirullahaladziim. “Tek” jariku berhasil meraih
tombol saklarnya, seketika terang benderang. Harapan itu masih ada. Aku bisa
lebih baik dari hari ini. Ya Allah ya Rabbi ampuni dosaku, terimalah taubatku. Kuraih
potongan kain yang hampir lepas dari kepalaku. Benar saja. Kerudung putih yang
selalu kupakai setiap rabu kamis ini, yang akrab dengan mistar jilbab dan jarum
pentul ditengan atas ubun-ubunku ini berhasil sobek hingga sisi kiri kanannya,
hanya sehelai lagi di sisi kanan yang masih mampu bertahan untuk tetap
melengket dikepalaku, jelas saja bagian dalam dari kain kerudung segitiga yang
sengaja kulipat lebih kecil di dalamnya agar kerudungku menjuntai lebih lebar ke
bawah tak mampu menutupi rambut panjangku hingga pinggang. Sejadah ini menjadi
bagian dari perisai mahkotaku saat kuberlari meniggalkan kerumunan orang-orang
baik di sana orang-orang calon pemghuni syurga yang insyaAllah istiqomah. &
insyaAllah akupun bisa terus istiqomah. Ku ambil mukena putihku ku kenakan
dengan rapi kuhapus lagi air mataku, kembali ku melangkah bergabung bersama
meraka teman-temanku. Ya aku siap. Saat ini jilbabku lebih panjang dari yang
awal kukenakan. Aku mengenakan mukenaku.
Hidayah adalah nikmat Allah yang
tidak semua mendapatkannya. Hanya mereka yang berusaha mencari yang akan
dipertemukan dengannya. Beruntunglah kita yang telah menjumpainya setelah sekian
lama berjuang mencari sinyal-sinyal kasih sayang Allah untuk bisa membawa diri
berhijrah berburu bekal dunia akhiraat. Semoga kita yang telah melewati jalan
hijrah ini bisa bertahan dalam jalan juang ini dan mengajak sebanyak-banyaknya
muslimah untuk berjalan di jalan yang sama demi menggapai ridho Allah Subhanahu Wata’ala. Kita tak bisa
sendiri, jalan ini panjang & penuh rintangan, kita berada disini untuk
saling menguatkan saling mengingatkan, maka do’akanlah aku agar aku tetap setia
di jalan ini tanpa berpaling dengan gemerlapnya dunia karena hadirmu disisiku
akan menguatkanku menempuh jalan ini.
Karena begitulah hidayah, setelah
kita memperolehnya tak ada yang menjamin kita akan bisa mempertahankannya, bisa
jadi ia pergi saat kapan saja kita “mengusirnya”. Dan jika kalian tahu.
MasyaAllah betapa luar biasanya hal yang terjadi dalam hidupku. Banyak sekali
perubahan setelah kami selesai PESKIL OSIS di tahun itu. Ada teman yang
sebelumnya berpenampilan sangat terbuka ia berani tampil dengan bangga bahwa
inilah saya seorang muslimah sejati, ada pula teman yang sebenarnya dia mampu
untuk sekedar membeli pakaian baru (red: yang panjang untuk berhijab) tapi tak
dilakukannya karena mungkin ia tak sungguh-sungguh mengejar hidayah dari Allah,
atau ia tak mampu menangkap sinyal-sinyal kasih sayang Allah yang ditujukan
padanya. Ia menutup dirinya menutup pintu hatinya bukan menutup auratnya. Bahkan
yang lebih membuatku terharu lagi ada teman yang sangat bersungguh-sungguh
menutup aurat ingin berubah saat pertama masuk sekolah ingin menjadi muslimah
seutuhnya, tapi karena masalah ekonomi ia tak mampu meyakinkan orang tuanya
bahwa dengan berhijab syar’i bisa mendatangkan rezeki lebih bnyak, bahwa dengan
berhijab syar’i mampu menjaga kehormatan seorang muslimah & dilindungi dari
segala gangguan gangguan. Terbukti perubahan lingkungan yang juga mengikut
perubahanku, inilah salah satu rahmat Allah. Dulunya anak-anak gaul dikompleks
kalau aku lewat depan mereka mulai lah mereka merayu dengan sapaan “ hai cewek”
atau jika jalan berdua dengan teman “halo yang di tengah” atau jika pake baju
warna merah misalnya “hai merah.” Sekarang alhamdulillah berubah jadi mengucapkan
salam ya walaupun masih dirayu juga, tapi paling tidak lebih sopan & saling
memberikan salam saling mendo’akan jika itu tulus ikhlash insyaAllah berpahala.
Dan banyak perubahan lingkungan yang perlahan lahan mendukung perubahan kita. Hijrah
kita. Semua pihak saling mendukung, Hingga munculah ide dari senior senior
akhwat yang terus diadopsi hingga ke angkataku dan angkatan dibawahku semoga
saja, bahwa saat pelulusan nanti senior yang berhijab tidak boleh mencoret
coret bajunya karena wijib diserahkan kepada adik kelas yang kesulitan untuk
seragam baru dengan hijab saat ingin berhijab. Jadi saat PESKIL akan dimulai
kumpulan baju seragam sekolah untuk mereka yang bersungguh sungguh meyambut
cinta dari Robbnya sudah terkumpul denga rapi dan siap disalurkan.
Nadia Azzahra Apok
Palu. 020916. 02:46:20